Minggu, 05 Januari 2014

cerpen persahabatan

Namaku Maya. Umurku 14 tahun saat ini. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Hidup dalam bayang-bayang kematian akibat penyakit ganas yang saat ini tengah aku derita. Aku terkena penyakit Kanker Darah stadium 2A. Penyakitku ini memang belum terlalu parah. Namun, hari yang silih berganti seakan membawaku ke dalam kematian. Ingin rasanya aku bebas dari penyakit ini, semua rasa takutku akan kematian. Tapi, semuanya hanya anganku yang terlalu jauh.
Raja Siang mulai menampakan dirinya di Ufuk Timur. Udara yang semalam dingin mulai berubah hangat. Seperti biasa aku dan sahabatku Dimas berangkat ke sekolah bersama. Ditemani dengan langkah-langkah kecilku aku melangkah dengan pasti untuk mencapai sebuah harapan untuk sampai di sekolah tepat waktu. Di tengah perjalanan, aku selalu diselimuti rasa takut, takut darah itu menetes lagi. Darah yang selalu saja keluar dari hidungku saat aku kelelahan ataupun sedang beraktivitas.
Suasana kelas yang gaduh membuatku tak kuat, membuat kepalaku pusing. Mendorong langkahku menuju ke perpustakaan sekolah.
“Dimas, kita ke perpustakaan yuk!”. Ajakku kepada Dimas.
“Iya! Kamu duluan aja. Ntar aku nyusul Jawab Dimas sembari mengeluarkan diary dari dalam tasnya. Temanku yang satu ini memang tak pernah lepas dari diary kesayangannya itu. Apa yang membuat dia begitu menyangi diarynya. Entahlah, aku tak tau. Biarkan diarynya menjadi teman setia untuknya saat aku telah tiada nanti.
“Maya, kamu kok jarang ke perpustakaan sekolah? Ibu sudah jarang lihat kamu ke sini.” Tanya ibu penjaga perpustakaan saat aku melangkahkan kakiku ke dalam perpustakaan.
Aku menjawab seraya mengambil sebuah buku “Maklumlah Bu, aku sedang tidak sehat.”
“Owh iya Maya, Ibu lupa dengan apa yang saat ini kamu alami. Semoga kamu bisa cepat sehat yah Nak.”
Semua orang di sekolah memang telah mengetahui penyakit yang kuderita, hingga tak asing lagi bagi mereka jika mendengar aku absen dalam waktu yang cukup lama.
“Hidungmu berdarah Maya, ayo bersihkan dulu.” Suara tersebut tiba-tiba muncul memecah keheningan di dalam perpustakaan.
“Ah.. Masa sih?” Jawabku agak kaget.
“Iya.. Ini ambil sapu tangan ini. Cepat bersihkan Maya. Nanti bisa mengotori bajumu.” Dimas mengingatkan seraya memberiku sebuah sapu tangan.
”Iya”
“Dimas, kalau boleh tahu kenapa sih kamu selalu bawa-bawa diary kamu itu kemana-mana?” Kuarahkan pandanganku ke diary yang dipegangnya.
“Bukan untuk apa-apa. Nanti kamu juga tau sendiri kok. Oh yah, Maya tadi aku sudah izin ke guru piket. Aku ada urusan. Dan itu tandanya aku harus pulang sekarang.”
“Hmm… Urusan apa sih?, kayaknya penting bangat.”
“Ada deh.. Oh yah, kalau aku sudah tiada lagi, tolong diary ini kamu simpan untuk kenang-kenangan yah. Bye!” Ujar Dimas seraya keluar dari perpustakaan.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, aku segera berkemas. Berjalan sendiri membuatku bosan. Langkah yang awalnya cepat kini mulai lamban akibat fisikku yang semakin melemah. Oh Tuhan, aku tak kuat.
Langkah-langkah kecilku kini membawaku melewati rumah Dimas, kupalingkan pandanganku. Tampak sepi, tak ada tanda-tanda seorang pun sedang beraktifitas di dalam. Rasa penasaran menyelimuti pikiriranku.Tanda Tanya seakan terus keluar dari hatiku. Kemana Dimas dan keluarganya? Apakah kepergian mendadaknya tadi ada hubunannya dengan ini? Pertanyaan yang sama sekali tak bisa kujawab.
“Bu… Ibu tahu gak Dimas dan keluarganya sekarang ada dimana?” Tanyaku kepada seorang wanita yang saat itu melintas di hadapanku saat aku sedang serius memandang rumah itu.
“Kalau gak salah tadi Ibu Dimas bilang mau ke rumah sakit.”
Oh Tuhan! Siapa yang sakit? Dimas? Pikiranku terpusat padanya. Aku segera menuju rumah sakit terdekat di daerah itu. Dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhku. Pikiranku kini mulai tak karuan memikirkan perkataan Dimas saat di sekolah tadi.
Aku memasuki rumah sakit itu dengan tergesa-gesa, suara tangisan yang tiba-tiba terdengar saat aku masuk membuatku kaget. Ibu Dimas, itu Ibu Dimas, kenapa dia menangis? Apa yang terjadi? Aku melangkah menuju Ibu Dimas. Kulihat melalui kaca jendala. Dimas, dia yang sedang terbaring disana. Oh, apa yang sebenarnya terjadi.
“Bu, Dimas kenapa?” tanyaku kepada Ibu Dimas.
“Dimas meninggal Nak..”
Apa? Aku tak percaya. Aku mnerobos masuk ke ruangan dimana Dimas terbaring. Aku menatapnya, dia sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya hatiku. Aku tak tau harus berbuat apa. Sahabatku sudah tidak ada bersamaku lagi. Dimas telah pergi untuk selamanya. Tak ada canda lagi yang akan menemaniku, tak ada semangat lagi untuk melanjutkan hidupku. Badanku lemas, seperti tak bertulang. Sebuah diary yang terletak di samping jasad Dimas mencuri perhatianku, aku mengambil dan membaca isinya.
Oh ternyata Dimas menderita penyakit yang lebih parah dariku. Dia tidak mau seseorang merasakan penderitaan seperti yang dia rasakan.
Aku sadar, aku memang tidak setegar Dimas. Hanya Diary inilah yang menjadi satu-satunya kenangan. Melalui diary ini sahabatku, dapat kukenang. Satu halaman di dalam diary ini yang berisi pesan buatku, bertuliskan: “Aku ada di setiap bunga yang kau lihat Maya, aku ada di setiap buah catur yang kau mainkan, aku ada di setiap hembusan nafasmu. Kau tak perlu cepat-cepat menyusulku disini, disini aku bahagia meski tanpa kamu. Buatlah hidupmu berguna bagi orang lain selagi kamu bisa.”
SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar